ETIKA BISNIS
Nama :
Santi Yulia
Npm : 18213243
Kelas : 4 EA 32
Dosen :
Tantyo Setyowati,SE.MM.
FAKULTAS EKONOMI S1 MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) merupakan sebuah implikasi
hidup yang dapat diibaratkan “ Lebih besar pasak daripada tiang “, KKN
merupakan sebuah tindakan yang sudah membuadaya nasional di Indonesia
bahkan sejak jaman Penjajahan Belanda hingga saat ini banyak sekali terjadi KKN
di lingkungan pejabat pusat maupun daerah dan setingkatnya. Masyarakat
Indonesia baru harus dapat keluar dari sikap ini dengan membuang KKN dalam
membangun masyarakat Indonesia secara lebih menyeluruh, lebih terbuka, lebih
demokratis, dan lebih mandiri. Menyikapi sebuah masalah KKN tidaklah
terlepas dari sebuah faktor – faktor yang bisa menyebabkan terjadinya sebuah
KKN, dari faktor – faktor itulah yang akan memunculkan budaya KKN yang
menasional di Indonesia ini.
Ada sedikit sejarah tentang korupsi, korupsi sudah berlangsung
lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad pertengahan
dansampai sekarang. Korupsi terjadi diberbagai sosial, tak terkecuali
dinegara-negara maju sekalipun. Di sosial Amerika Serikat sendiri yang sudah
begitu maju masih ada praktek-praktek korupsi. Sebaliknya, pada masyarakat yang
sosial dimana ikatan-ikatan sosial masih sangat kuat dan kontrol sosial yang
efektif, korupsi sosial jarang terjadi. Tetapi dengan semakin berkembangnya
social ekonomi dan politik serta semakin majunya usaha-usaha pembangunan dengan
pembukaan-pembukaan sumber alam yang baru, maka semakin kuat dorongan individu
terutama di kalangan pegawai negeri untuk melakukan praktek korupsi dan
usaha-usaha penggelapan.
Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan sosial dan
dapat merusak kepemerintahan. Korupsi sangat sulit untuk dihilangkan
bahkan sosial tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena itu sangat
sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang nyata. Disamping itu sangat sulit
mendeteksinya dengan dasar-dasar sosial yang pasti. Akibat-akibat
dari korupsi antara lain Pemborosan sumber-sumber, gangguan terhadap
penanaman modal, bantuan yang lenyap, ketidakstabilan, revolusi
social, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan
sosial budaya, pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan
kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Oleh karena itu, salah satu cara yang efektif untuk
mengatasi permasalahan korupsi bagi kami ialah dengan menerapkan hukuman
yang tepat dan adil bagi para koruptor tersebut. Namun faktanya, di
Indonesia hukuman bagi terpidana koruptor sangatlah ringan, sehingga
tidak menimbulkan efek jera.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.Pengertian Hukuman
Hukuman adalah tindakan yang diberikan terhadap seseorang
karena melakukan kesalahan, dan dilakukan agar orang tersebut tidak
lagi melakukannya. Menurut Wens Tamlair,1996 Bentuk hukuman antara lain
hukuman badan, hukuman perasaan (diejek, dipermalukan, dimaki), dan lain
sebagainya.
Menurut teori (H. Baharuddin,2007), hukuman adalah menghadirkan atau
memberikan sebuah situasi yang tidak menyenangkan atau situasi yang ingin
dihindari untuk menurunkan tingkah laku.
Menurut Al-Ghozali hukuman ialah suatu perbuatan di mana seseorangsadar
dan sengaja menjatuhkan nestapa pada orang lain dengan tujuanuntuk memperbaiki
atau melindungi dirinya sendiri dari kelemahan jasmanidan rohani, sehingga
terhindar dari segala macam pelanggaran.
B.Pengertian Korupsi
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau
korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Jenis tindak
pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah memberi atau menerima
hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam
jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara), dan menerima gratifikasi (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara).
C. Pengertian Kolusi
Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat
kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang
diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar
segala urusannya menjadi lancar. Di Indonesia, kolusi sering terjadi dalam
proyek pengadaan barang dan jasa tertentu (umumnya dilakukan pemerintah). Ciri-ciri
kolusi jenis ini adalah:
a. Pemberian
uang pelicin dari perusahaan tertentu kepada oknum pejabat atau pegawai
pemerintahan agar perusahaan dapat memenangkan tender pengadaan barang dan jasa
tertentu.
b. Penggunaan broker (perantara)
dalam pengadaan barang dan jasa tertentu. Padahal, seharusnya dapat
dilaksanakan melalui mekanisme G 2 G (pemerintah ke
pemerintah) atau G 2 P (pemerintah ke produsen), atau dengan
kata lain secara langsung.
Secara garis besar, Kolusi adalah pemufakatan secara bersama untuk
melawan hukum antar penyelenggara Negara atau antara penyelenggara dengan pihak
lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan Negara.
D. Pengertian Nepotisme
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan
hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Pakar-pakar biologi telah
mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri,
sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.
Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos,
yang berarti “keponakan” atau “cucu”. Tuduhan adanya nepotisme bersama
dengan korupsi dan kolusi(ketiganya
disingkat menjadi KKN)
dalam pemerintahan Orde Baru, dijadikan sebagai salah satu pemicu
gerakan reformasi yang
mengakhiri kekuasaan presiden Soeharto pada
tahun1998.
E.Dasar Hukum Tindak Pidana Korupsi
Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke
permukaan. Dinegeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit
kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke
lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif
hingga ke BUMN. Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang
khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia
sendiri,undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali
mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang korupsi, yakni :
1. Undang-undang
nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
2. Undang-undang
nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
3. Undang-undang
nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
4. Undang-undang
nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang pemberantasan tindak
pidana korupsi.
BAB III
PEMBAHASAN
Sejak reformasi di gulirkan tahun 1988 yang lalu, berbagai kasus – kasus
KKN di Indonesia yang terjadi puluhan tahun yang lalu satu persatu mulai
terbongkar. Dimulai dari tuduhan pucuk pemimpin rezim orde baru, lantas
terkupaslah kasus KKKN dengan berbagai ukuran yang dilakukan para pejabat
negeri ini puluhan tahun yang lalu. Istana Negara telah berganti penghuni –
penghuni , tapi masih saja terdengar berita – berita korupsi yang
dilakukan oleh para pejabat Negara yang menghiasi layar kaca dan media cetak
maupun elektronik nasional. Banyak sekali kasus KKN di Indonesia yang sulit di
berantas. Budaya korupsi sudah cukup mengakar di system birokrasi pemerintahan
Indonesia yang menjadi biang kerusakan ekonomi nasional.
Indonesia menjadi miskin bukan karena Indonesia tidak memiliki sumber
daya alam yang bisa dimanfaatkan, akan tetapi Indonesia menjadi miskin karena
akibat pengelola negeri ini mengambil uang yang bukan menjadi haknya. KKN
merajalela di berbagai aspek dan dimensi kehidupan sosial. Yang menjadi korban
tentu saja rakyak kecil yang harus hidup menderita.
Ada beberapa factor yang menyebabkan kasus – kasus KKN di Indonesia sulit
untuk diselesaikan. Diantaranya factor – factor tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Penyakit
kronis bangsa Indonesia
Selama hampir
lebih tiga puluh dua tahun kekeuasaan rezim orde baru berkuasa, dalam kurun
masa itu penyakit dan virus KKN berkembang subur. Keberadaannya dilindungi dan
dikembangbiakan. Pertumbuhan yang cukup lama ini menyebabkan penyakit yang
berbahaya ini menjangkit hampir seluruh birokrasi pemerintahan maupun non
pemerintahan di indoensia. Dari level tertinggi pejabat Negara, sampek level Rt
yang paling rendah.
2. System
pengakan hukum yang lemah
Indonesia
memiliki banyak sekali undang – undang dan landasan hukum yang mengatur tentang
tindakan KKN. Isi dan kandungan undang – undang tersebut bisa saja di ubah
sewaktu – waktu menyesuaikan perkembangan yang ada. Yang menjadi persoalan
adalah para penegak hukum itu sendiri. Munculnya istilah mafia hukum merupakan
bukti kerendahan mental para penegak hukum di indoensia. Para petugas hukum
yang di tugaskan untuk mengadili para koruptor alih – alih menerima amplop dari
para koruptor.
A. Hukuman Bagi Koruptor Di Indonesia
Berdasarkan
ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 dan undang-undang nomor 20 tahun
2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa
tindak pidana korupsi adalah sebagaiberikut:
1. Pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda palingsedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negaraatau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
2. Pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh jutarupiah) dan paling
banyak satu Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)bagi setiap orang yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atauorang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan,kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan ataukedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomianNegara (Pasal 3)
3. Pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratuslima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enamratus juta) bagi setiap orang yang
dengan sengaja mencegah, merintangiatau menggagalkan secara langsung atau tidak
langsung penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap
tersangkaatau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
4. Pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enamratus juta rupiah) bagi
setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal28, pasal 29, pasal 35, dan pasal
36.
5. Pidana
Tambahan
Perampasan
barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujudatau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperolehdari tindak pidana korupsi,
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya samadengan harta
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, Penutupan seluruh atau sebagian
perusahaan untuk waktu paling lama 1(satu) tahun, Pencabutan seluruh atau
sebagian hak-hak tertentu atau penghapusanseluruh atau sebagian keuntungan
tertentu yang telah atau dapatdiberikan oleh pemerintah kepada terpidana, Jika
terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu1 (satu) bulan
sesudah putusan pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap maka harta
bendanya dapat disita oleh jaksa dandilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut, Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjarayang lamanya tidak
memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknyasesuai ketentuan undang-undang
nomor 31 tahun 1999.
B. Efek Jera Bagi Koruptor
Di Indonesia itikad untuk membuat jera koruptor masih
sebatas wacana.Beberapa usulan pernah dilontarkan ke publik oleh para
pakar untuk hukuman koruptor. Seperti hukuman mati, pemiskinan, baju tahanan,
hukuman sosial, bahkan penjara seumur hidup. Namun, yang baru
terwujud adalah membuat seragam bagi tersangka korupsi. Tujuannya membuat
malu tersangka korupsi. Usulan yang lainnya? Hilang tanpa jejak. Sepertinya
hukum yang ringan tidak membuat jera para pelaku koruptor.
Berdasarkan analisa,hukuman bagi koruptor tersebut seperti yang tercantum
dalam UU Tipikor di atas itu pada faktanya sama sekali tidak menimbulkan efek
jera. Hal ini disebabkan oleh diantaranya:
1. Hukuman
yang memang masih terlalu ringan.
2. Hukuman
yang sangat ringan karena dakwaan jaksa yang lemah.
3. Harta
koruptor yang sudak terbukti sama sekali tidak disita.
4. Korupsi
sudah menjadi hal yang lumrah dalam suatu birokrasi.
5. Kurangnya
legitimasi hukum tipikor karena disebabkan peradilan yang tidak kredibel serta
juga sering menjadi sumber sogok-menyogok.
6. Penerapan
hukuman yang juga tidak berkeadilan, dimana apabila yang menjadi tersangka
korupsi dari seorang pejabat besar maka hukuman akan semakin tumpul.
7. Korupsi
yang dilakukan secara bersama-sama sehingga tidak adanya rasatakut bagi para
koruptor.
8. Peranan
KPK, BPK, dan Kepolisian yang juga masih rendah dalam pengungkapan kasus
korupsi.
Beruntung untuk koruptor Indonesia, hukum penjara yang ringan (sebentar),
bahkan jauh di bawah tuntutan jaksa membuat hukum korupsi diIndonesia termaksud
yang paling ringan. Pasalnya, masa tahanan koruptor sudah dihitung semenjak
menjadi tahanan di penjara. Dan bila ada peringatan hari raya besar, tahanan
mendapat remisi (pemotongan masa tahanan) yang bisa membuat para koruptor cepat
atau lambat akan menghirup udara bebas.
C.Hukuman Yang Tepat Bagi Koruptor
Pertama, vonis yang wajib dijatuhkan kepada setiap koruptor tanpakecuali
adalah mengembalikan dana senilai yang dia korupsi. Jika dia tida kmampu membayar,
harta kekayaannya harus disita oleh negara untukdilelang hingga nilainya
mencapai jumlah dana yang harus dia kembalikan [kepada negara].
Penyitaan tetap harus dilakukan bahkan jika itu meliputi seluruh harta
kekayaan si koruptor.Jika masih kurang, tambahkan pada masa hukuman penjara
baginya. Panjangnya hukuman penjara tambahan ditentukan berdasar jumlah yang
tidak dia bayarkan, tanpa ada batas.
Kedua, vonis hukuman penjara inti (yang bukan tambahan) ditetapkan sesuai
aturan yang berlaku. Kita semua pasti tahu embel-embelnya: dengan penyesuaian
pada prinsip dan rasa keadilan.
Ketiga, terkait dengan fasilitas dan akomodasi yang dia dapat dipenjara,
harus dibatasi dengan menggunakan dasar perhitungan standar hidup
masyarakat setempat.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Saat
ini di Indonesia, berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31Tahun 1999 dan
undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan
hakim terhadap terdakwa tindak pidanakorupsi masih sangat ringan bagi para
koruptor.
2. Hukuman
tersebut, masih belum menimbulkan efek jera, sehingga masih banyak kasus
korupsi terjadi dan merajalela. Sepertinya hukum yang ringan tidak membuat jera
para pelaku koruptor. Mereka masih sumringah di hadapan kamera TV dan tidak ada
rasa penyesalan samasekali. Bahkan ada beberapa pelaku korupsi, setelah bebas
dari penjara,melakukan korupsi lagi atau duduk di jabatan semulanya.
3. Adapun
hukuman yang sangat tepat bagi koruptor ialah dengan hukuman mati seperti yang
diterapkan di China, sehingga mampu mengurangi jumlah koruptor serta sangat
mampu menimbulkan efek jera.
4. Selain
itu, koruptor juga harus dimiskinkan serta tidak membedakan apakah ia pejabat
atas atau kalangan bawah, apapun itu, hukuman harus sama dan adil.
B.Saran
Pada dasarnya, korupsi merupakan tindak pidana luar biasa yang harus
mendapatkan hukuman yang amat sangat berat. Hal ini karena korupsi tergolong
sebagai perampokan harta rakyat yang menyebabkan kemiskinan semakin bertambah,
pembangunan yang gagal, serta banyak lagi kerugian besar lainnya. Oleh
karena itu, kami dari kelompok IV, setelah menganalisis berbagai fakta-fakta
dan opini-opini yang kami baca di media cetak dan elektronik, maka akan lebih
baik jika korupsi dihukum dengan HUKUMAN MATI.
Ide tentang hukuman mati untuk koruptor sudah bukan barang baru. Ide tersebut juga sudah ditentang
oleh orang-orang yang merasa dirinya pembela hak asasi manusia. Padahal hukuman
begini pasti jauh lebih gampang, asal ditentukan nilai nominal minimal
korupsinya sebagai batas untuk diberlakukannya hukuman mati, dan interval
antara dijatuhkannya vonis dengan eksekusi tidak lebih dari 3 x 24 jam.
Para tervonis hukuman mati tidak perlu menderita ketidak jelasan
menunggu-nunggu eksekusinya. Bukan hanya membuat mereka menunggu, tapi itu juga
menghabiskan uang Negara untuk memberi mereka makan setiap hari sampai matinya.
Tetapi jika model hukumannya masih seperti yang divoniskan pada koruptor
saat ini, dari mana bisa muncul efek jera? Jangan-jangan mereka memang
berpikiran seperti: melakukan korupsi adalah usaha, tertangkap dan dihukum
adalah pengorbanan, lalu keluar dari penjara dengan simpanan harta berlimpah
adalah masa depan yang cerah menanti.
Namun selain hukuman mati, ide bahwa hukuman bagi koruptor harus
memiskinkan dan mempermalukan juga harus dilakukan.